KEPASTIAN HUKUM DALAM HUKUM INVESTASI MELALUI OMNIBUS LAW

KEPASTIAN HUKUM DALAM HUKUM INVESTASI MELALUI OMNIBUS LAW
oleh IRWAN FADILLA
(Mahasiswa Magister Hukum Universitas Lancang Kuning)

Perkembangan ekonomi yang pesat serta kemajuan teknologi dan industry telah menghasilkan beragam jenis barang dan/atau jasa yang variatif, sehingga konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis pilihan. Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya. Di Indonesia, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dituangkan dalam pembukaan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan di dorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dari tujuan pembentukan Negara Indonesia ersebut terkandung cita–cita mulia yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Menurut Sunaryo Waluyo: Idaman masyarakat yang adil dan makmur dalam kehidupan berbangsa Indonesia merupakan masalah pokok sepanjang sejarah. Berkaitan dengan hal itu, adil dan makmur merupakan dua pasangan yang tidak terlepaskan dalam falsafah masyarakat dan merupakan tujuan hidupnya.

Setiap penanaman modal akan memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi sebuah negara, karena penanaman modal akan mendorong berkembangnya aktivitas perekonomian secara keseluruhan.[2] Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu system perekonomian yang berdaya saing.

Pemerintah telah membuat payung hukum regulasi di bidang penanaman modal diantaranya adalah Undang–Undang No. 1 Tahun 1967 jo. Undang–Undang No. 11 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Asing, Undang–Undang No. 6 Tahun 1968 Jo. Undang– Undang No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian diubah dengan Undang–Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Dalam berinvesatsi investor akan melakukan studi kelayakan (feasibility) tentang prospek bisnis yang akan dijalankan, termasuk yang diteliti adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan investasi tersebut, akan menjadi masalah bagi investor adalah jika kerugian yang dialami bukan karena salah mengelola perusahaan, akan tetapi tidak ada perlindungan hukum, baik terhadap modal yang ditanamkan maupun barang yang akan diproduksi.[3] Investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usaha, artinya investor butuh satu ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan investasinya. Ukuran ini disebut aturan yang dibuat oleh pihak yang mempunyai otoritas untuk itu, karena kepastian hukum adalah salah satu keharusan untuk datangnya modal asing ke suatu negara.

Kepastian hukum adalah adanya peraturan-peraturan dari negara penerima investasi yang diberlakukan bagi penanam modal, yang memberikan perlindungan hukum terhadap modal yang ditanamkan, terhadap penanam modal dan kegiatan usaha investor. Wujud kepastian hukum adalah peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku umum di wilayah Indonesia. Selain itu dapat pula peraturan setempat yang dibuat oleh penguasa setempat yang hanya berlaku di daerahnya saja.

Jika ingin investor datang untuk menanamkan modalnya di Indonesia, satu hal yang harus disiapkan adalah adanya perangkat hukum yang jelas, artinya antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya tidak saling berbenturan. Oleh karena itu, hukum di Indonesia seharusnya mampu menciptakan kepastian hukum agar dapat berperan dalam pembangunan ekonomi.

Saat ini pemerintah terus berusaha mendorong masuknya penanam modal asing ke dalam negeri, hal ini dapat terlihat dari gencarnya tindakan pemerintah, diantaranya peraturan dan kebijakan Omnibus Law. Omnibus Law dikenal di Indonesia setelah Presiden RI menyampaikannya dalam pidato kenegaraan pada pelantikannya sebagai Presiden di hadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2019. Omnibus law menjadi fokus presiden dengan tujuan agar dapat menyelesaikan permasalahan tumpang tindihnya regulasi dan birokrasi. Harapannya dengan adanya omnibus law tersebut dapat memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat dan menarik investor asing berinvestasi di Indonesia. Namun bagaimana pun Pembuatkebijakan tidak hanya harus membentuk peraturan yang dapat memberikan kepastianhukum bagi investor asing dan juga peraturan-peraturan tersebut tetapi juga harus menata reformasi mental para birokrat.

Kepastian Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia dalam Perspektif Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Arti pentingnya hukum dikaitkan dengan investasi, penanam modal membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya. Artinya, bagi para penanam modal butuh ada satu ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan investasinya.[7] Sebelum melakukan investasi, investor biasanya mempertanyakan apakah yang dapat diperoleh dari investasi tersebut di kemudian hari. Untuk itu investor perlu mendekati kepastian, teknik melakukan perkiraan tersebut di antaranya:

1.     Basis Forcasting atau perkiraan dasar. Investor biasanya mendapatkan informasi dasar dari lembaga advisor atau konsultan sebelum melakukan investasi.

2.     Structuring Forcasting atau perkiraan struktur. Investor biasanya mengidentifikasi beberapa faktor yang akan mempengaruhistruktur pembiayaan mereka seperti risiko bisnis negara (country risk), kestabilan mata uang, kestabilan politik, penyediaan infrastruktur.

3.     Transmission Forcasting. Sebelum investor memutuskan untuk berinvestasi, investor biasanya mengamati aspek-aspek yang terkait dengan investasinya melalui berbagai saluran seperti media massa, jurnal, bahkan dari mulut ke mulut.

4.     Track record. Investor sangat memperhatikan apa yang telah dialami oleh investor lain dalam melakukan investasi. Kegagalan dan keberhasilan suatu investasi yang terjadi akan menjadi catatan khusus bagi calon investor lain.

5.     Cost of Service. Untuk membuat perkiraan yang mendekati kepastian, investor perlu mengidentifikasi biaya-biaya yang harus dikeluarkan sebelum bisnis berjalan hingga operasional. Semakin biaya dapat diperkirakan, maka risiko bisnis semakin dapat ditekan. Bagi investor, yang paling dikhawatirkan adalah biaya siluman. Bukan karena besarnya, tapi tidak dapat diprediksi.

Dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap USU, Budiman Ginting mengatakan:[8]

Indonesia merupakan sebuah negara yang cukup potensial dalam menarik minat investor. Akan tetapi mengapa pada kenyataannya kepercayaan investor belum pulih benar terhadap kondisi hukum di negara ini. Selain faktor politik, ekonomi, dan hukum, ada beberapa faktor yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan sebelum melakukan investasi, antara lain sebagai berikut:

1.     Risiko Menanam Modal (Country Risk), masalah country risk merupakan faktor yang cukup dominan yang menjadi dasar pertimbangan dalam melakukan kegiatan investasi. Salah satu aspek dari country risk yang sangat diperhatikan oleh calon investor adalah aspek stabilitas politik dan keamanan.

2.     Rentang Birokrasi (Red Tape), birokrasi yang terlalu Panjang biasanya dapat menciptakan situasi yang kurang kondusif bagi penanaman modal sehingga dapat mengurungkan niat investor, karena birokrasi yang panjang berarti ada biaya tambahan yang akan memberatkan para calon investor. Hal ini dapat mengakibatkan usaha yang akan dilakukan tidak layak (feasible) dalam melakukan kegiatan investasi.

3.     Transparansi dan Kepastian Hukum, adanya transparansi dalam proses dan tata cara penanaman modal akan menciptakan suatu kepastian hukum serta menjadikan segala sesuatunya menjadi mudah diperkirakan (predictability). Sebaliknya, tidak adanya transparansi dan kepastian hukum akan menjadikan sering berubah-ubah kebijakan, misalnya dalam membuat daftar skala prioritas serta daftar negatif (negative list) di bidang investasi.

4.     Alih Teknologi, adanya peraturan kewajiban alih teknologi dari negara tuan rumah dapat mengurangi minat penanam modal mengingat bagi mereka teknologi yang mereka gunakan merupakan modal yang sangat berharga dalam mengembangkan usahanya. Ada 4 hambatan dalam alih teknologi, yaitu: hambatan yang timbul dari ketidaksempurnaan pasar teknologi, hambatan yang disebabkan kurangnya pengalaman dan keterampilan pihak negara penerima dalam menyelesaikan perjanjian hukum yang memadai untuk memperoleh teknologi tersebut, hambatan dari sikap pemerintah baik legislatif maupun administratif di negara maju atau negara berkembang yang mempengaruhi pelaksanaan alih teknologi dan perolehannya bagi pihak penerima teknologi di negara berkembang, hambatan seperti sumber keuangan karena tingginya biaya teknologi bagi negara berkembang terutama dalam menemukan faktor-faktor yang menentukan harga yang layak.

5.     Ketenagakerjaan, antara masalah penanaman modal dengan masalah ketenagakerjaan terdapat hubungan timbal balik. Penanaman modal memberikan implikasi terciptanya lapangan kerja yang menyerap sejumlah tenaga kerja di berbagai sektor sementara di lain pihak kondisi sumber daya manusia yang tersedia dan situasi ketenagakerjaan yang melingkupinya akan memberikan pengaruh yang besar pula bagi kemungkinan peningkatan atau penurunan modal.

6.     Ketersediaan Infrastruktur, tersedianya jaringan infrastruktur yang memadai akan sangat berperan dalam menunjang keberhasilan suatu kegiatan penanaman modal. Tersedianya jaringan infrastruktur pokok, seperti perhubungan (darat, laut, dan udara), energi, serta sarana telekomunikasi biasanya merupakan faktor yang sangat diperlukan oleh calon investor.

Penanam modal harus terlebih dahulu melakukan perkiraan sesuai pertimbangan tersebut di atas untuk menghindari masalah yang mungkin akan terjadi setelah menanamkan modalnya pada suatu negara. Beberapa masalah yang mungkin muncul terkait dengan kondisi investasi, antara lain:

1.     Adanya beberapa permasalahan yang berkaitan dengan iklim investasi di Indonesia;

2.     Jaminan adanya kepastian hukum dan keamanan merupakan syarat utama untuk menarik investor, baik yang merupakan perusahaan milik nasional ataupun milik investor asing;

3.     Masalah ketenagakerjaan terutama yang berkaitan dengan masalah hiring (rekrutmen) dan firing (pemberhentian);

4.     Masalah perpajakan dan kepabeanan;

5.     Masalah infrastruktur;

6.     Masalah penyederhanaan sistem perizinan.

Seringkali masalah kepastian hukum menjadi penghambat masuknya investasi.Ketidakpastian hukum merupakan bagian dari masalah-masalah yangmenyebabkan iklim investasi tidak kondusif. Iklim yang kondusif tentunya akansangat mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Untuk itu, terhadap tiga aspek,aspek substansi hukum, aspek aparatur hukum, dan aspek budaya hukum harusmencerminkan kepastian hukum.

Substansi peraturan perundang-undangan tumpang tindih. Substansi peraturan perundang-undangan tidak mencerminkan adanya kepastian hukum karena beberapa peraturan perundangundangan saling tumpang tindih sehingga membebani investor. Peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih antara lain contohnya antara Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah/Tempat Tinggal/Hunian oleh Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Berdasarkan PP Nomor 41 Tahun 1996 disebutkan investor asing diperbolehkan menguasai tanah dan bangunan di Indonesia dengan status hak pakai selama 25 tahun, bisa diperpanjang 20 tahun dan bisa diperpanjang 25 tahun atau dengan kata lain masa hak pakai yang diperbolehkan adalah selama 70 tahun. Kedua peraturan ini dinilai menghambat investor individual asing yang akan berinvestasi di Indonesia, karena untuk memperoleh hak atas tanah harus melalui prosedur yang terlalu rumit.

Setelah keluarnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan perlakuan yang sama terhadap investor asing dan dalam negeri. Perlakuan sama bagi modal dalam negeri dan modal asing merupakan asas penting kebijakan investasi. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan bahwa perlakuan tersebut tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Ketentuan ini menyesuaikan dengan prinsip yang dianut oleh Trade Related Investment Measures-WTO. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip WTO “the most favored nations”, yaitu suatu ketentuan yang diberlakukan oleh suatu negara harus diperlakukan pula kepada semua negara anggota WTO. Ketentuan ini untuk menegakkan prinsip Non Diskriminasi yang dianut WTO. Prinsip perlakuan nasional (national treatment, non diskriminasi) mengharuskan negara tuan rumah/penanam modal untuk tidak membedakan perlakuan antara penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri di negara penerima tersebut.[10]

Peraturan-peraturan daerah membebani investor. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada 1 Januari 2001, telah lahir berbagai peraturan daerah. Peraturan daerah ini semestinya dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan daerah, namun demikian yang terjadi justru sebaliknya, peraturan daerah cenderung membuat masyarakat dan dunia usaha dirugikan. Seperti yang pernah terjadi di Kabupaten Bekasi, dimana Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 40 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan. Kebermasalahan perda ini adalah perda tersebut tidak ada disebutkan jangka waktu keluarnya SIUP setelah berkas diterima secara lengkap dan benar oleh Kepala Dinas.

Investasi asing akan sulit masuk ke Indonesia tanpa adanya pengaturanyang jelas, misalnya perizinan antara pusat dan daerah dengan birokrasi yangrumit dan terus berubah-ubah tanpa bisa diprediksi oleh penanam modal. Aparaturhukum juga memiliki peran yang besar dalam meciptakan iklim yang kondusifuntuk berinvestasi dengan menegakkan hukum dan peraturan perundangundanganyang berlaku dan tidak mempersulit penanam modal dalammenjalankan usahanya. Begitu pula dengan budaya hukum masyarakat dan pelakubisnis yang patuh terhadap kontrak atau kerjasama yang telah dilakukan.

Unsur dari sistem hukum yang turut menentukan terciptanya kepastianhukum adalah aparatur hukum. Hal ini dapat dilihat dari timbulnya tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan antar instansi di Daerah dan Pusat. Padahal dengan adanya pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, diharapkan daerah mampu menangkap peluang dan tantangan persaingan global melalui peningkatan daya saing daerah atas potensi dan keanekaragaman daerah masing-masing.

Unsur dari Budaya Hukum paling terlihat adalah Korupsi. Praktek korupsi merupakan penyebab utama kalangan investor enggan berinvestasi membangun usaha di Indonesia, selain faktor infrastruktur, birokrasi, pajak dan tenaga kerja.] Tingginya tingkat korupsi di Indonesia menyebabkan iklim investasi menjadi tidak kondusif, sehingga tidak mampu menarik Foreign Direct Investment (FDI) dan investasi domestik, akibatnya terjadi perlambatan dalam proses multiplier effect dalam perekonomian. Konsekuensinya pertumbuhan ekonomi yang merupakan prasyarat utama bagi penurunan kemiskinan menjadi rendah, akibatnya program pengentasan kemiskinan menjadi mandek.

Jika pemerintah hendak tetap memetik manfaat melalui penanaman modalasing, maka harus dengan tegas memberikan perlindungan dan kepastian hukum, khususnya kepada penanam modal asing yang sedang menanamkan modalnya diIndonesia mengingat track record penanam modal dalam suatu negara menjadi bahan pertimbangan penanam modal lain untuk menanamkan modalnya di negara tersebut.

 Analisis terhadap Penataan Regulasi Investasidi Indonesia Melalui Omnibus Law

Secara konsep, Omnibus Law adalah produk hukum yang sudah tua dan sudah diterapkan oleh beberapa negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Irlandia, Singapura dan Kanada. Sehingga, untuk implementasinya secara materi sudah tidak menjadi persoalan lagi karena referensinya sudah cukup untuk diterapkan. Sebagai contoh penerapan omnibus law di Irlandia telah berhasil untuk menghapuskan 3.225 UU menjadi cukup satu UU saja. Apabila ditelusuri secara etimologinya atau asal usul katanya, omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang artinya banyak. Omnibus law ini di Amerika Serikat lebih dikenal dengan konsep omnibus bill. Menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary yang dimaksud dengan omnibus bill adalah “In legislative practice, a bill including in one act various separate and distinct matters, and particularly one joining a number of different subjects in one measure in such a way as to compel the executive authority to accept provisions which he does not approve or else defeat the whole enactment”.

Omnibus law menjadi suatu terobosan dalam upaya menyederhanakan peraturan yang ada di Indonesia. Black (1968) menjelaskan bahwa omnibus law berusaha untuk menjadikan keragaman undangundang menjadi satu undang-undang saja. Asshidiqie menjabarkan bahwa praktek omnibus law dapat digunakan dalam tiga keadaan yaitu undang-undang yang akan diubah berkaitan secara langsung, undang-undang yang akan diubah tidak berkaitan secara langsung, dan undang-undang yang akan dibuah tidak berkaitan, tetapi dalam praktek bersinggungan.

Substansi dari omnibus law tersebut nantinya akan lintas sektor bidang hukum. Hal tersebut jelas bertolak belakang dalam pembentukan undang-undang dalam civil law system yang tegas dan rigid substansinya terbatas pada judul undang-undang tersebut. Omnibus law tersebut merupakan format pembentukan UU yang bersifat menyeluruh dengan turut mengatur materi UU lain yang saling berkaitan dengan substansi yang diatur oleh UU yang diubah atau dibentuk.

Dengan format pembentukan UU Omnibus ini, pembentukan satu undang-undang dilakukan dengan mempertimbangkan semua materi ketentuan yang saling berkaitan langsung ataupun tidak langsung yang diatur dalam berbagai undang-undang lain secara sekaligus. Hal tersebut juga ditegaskan olej Mirza Satria Buana sebagaimana dikutip oleh Sulasi Rongiyati bahwa omnibus law dapat dianggap sebagai UU ‘Sapu Jagat’ yang dapat digunakan untuk mengganti beberapa norma hukum dalam beberapa UU.

Dalam sistem hukum civil law, konsep omnibus law tersebut belum pernah terdengar karena dalam sistem hukum civil law tersebut lebih mengedepankan kodifikasi peraturan untuk mengatasi tumpang tindih dan parsialnya peraturan yang ada. Maksud kodifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah (1) himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; hal penyusunan kitab undang-undang; (2) penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dalam buku undangundang yang baku; (3) pencatatan norma yang telah dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata bahasa, seperti pedoman lafal, pedoman ejaan, pedoman pembentukan istilah, atau kamus; (4) pemberian nomor atau lambang pada perkiraan pos, jurnal, faktur, atau dokumen lain yang berfungsi sebagai alat untuk membedakan pos yang satu dengan lainnya yang termasuk satu golongan.

Indonesia dapat mengadopsi omnibus lawuntuk menciptakan instrumen hukum investasi yang dapat meningkatkan minat investasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan masalah yang diatur dalam hukum investasi sangatlah kompleks. Tidak hanya persoalan investor datang dan menanamkan modalnya, namun terkait erat dengan berbagai aspek seperti ketenagakerjaan, infrastruktur, insentif fiskal maupun non-fiskal dan lain sebagainya. Kompleksitas permasalahan ini lah yang belum diatur UU Penanaman Modal.Belakangan baru terpikirkan dan diterbitkan pengaturannya dalam bentuk PP, Perpres atau Permen.Selain itu, Penulis berpandangan ini adalahhalyang mendesak sehingga memerlukan proses yang cepat namun tepat. Omnibus lawdapat menjadi jawaban karena prosesnya yang memang mengedepankan efisiensi waktu pembahasan UU terlebih di Indonesia para anggota DPR seringkali disibukkan dengan kampanye politik di daerah-daerah. Hal ini tentu makin mempersempit ruang waktu untuk bekerja maksimal membahas UU Omnibus Law yang dijelaskan oleh Presiden Jokowi memiliki jangkauan yang luas sehingga perlu kajian yang lebih mendalam dan proses trial terlebih dahulu. Apalagi Omnibus Law akan menggugurkan sekitar 72-74 pasal yang dianggap bermasalah di sektor lapangan kerja dan perpajakan.

Untuk itu, pemerintah pusat baik Presiden dan DPR perlu mengambil langkah yang tepat sebelum mengimplementasikan Omnibus Law sebagai payung hukum. Langkah pertama adalah mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Agung dan Mahkama Konstitusi terkait dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan. Jika UU ini tidak segera diamandemen, maka pembentukan dan penerapan Omnibus Law akan sulit diterapkan karena anggapan akan melenceng dari asas hukum yang sudah berlaku pasti akan muncul. Namun tampaknya langkah ini sudah ditempuh pemerintah sebagaimana pernyataan dibutuhkan juga tim ahli yang sudah terakreditasi dalam bidang hukum agar mampu menjabarkan konsep penerapan Omnibus Law baik kepada pemerintah daerah dan masyarakat agar tidak timbul kesalahpahaman. Tim Ahli juga akan meringankan beban satgas yang sudah dibentuk oleh Presiden Jokowi dalam penyusunan materi dan strategi penerapan Omnibus Law nantinya. Sehingga, penyusunan Omnibus Law akan lebih efesien karena banyak elemen yang terlibat, mulai dari pemangku kebijakan, akademisi, pemerintah dan praktisi hukum.

Menurut Andre Rahadian, Tim Ahli memiliki tugas untuk mengonsolidasikan definisi Omnibus Law ke publik sebagai sebuah produk hukum yang bertujuan untuk melakukan harmoniasasi hukum agar asas kebermanfaatannya lebih terasa di masyarakat. Pemerintah harus mampu meyakinkan ke publik bahwa Omnibus Law dibentuk untuk menciptakan keselarasan hukum agar kepentingan masyarakat bisa diakomodir diatas kepentingan pemerintah atau pihak-pihak lain yang secara sengaja tidak berpihak kepada masyarakat.

Oleh karena itu, asas kebermanfaatan dari produk hukum ini harus jelas dan sampai ke publik. Seperti contoh bagi masyarakat yang memiliki usaha bisa mendapatkan ijin lebih mudah dan tanpa harus terkendala oleh regulasi yang berbelit-belit. Bisa juga dengan adanya Omnibus Law masyarakat memiliki usaha yang dimiliki secara bersama sehingga terjadi sharing profit. Apalagi didukung dengan kondisi ekonomi saat ini yang sudah berubah dari usaha yang dimiliki perseorangan menjadi milik bersama sehingga membuat masyarakat bisa membangun usaha secara bersama dengan prinsip sharing economy.

Penataan regulasi penanaman modal dimulai sejak diundangkan melalui omnibus law akan disiapkan pada tahun 2020 bagaimanapun dapat memberikan kepastian hukum dari perspektif pengaturan, namun belum tentu memberikan kepastian hukum dari perspektif penegakan hukum. Pertumbuhan penanaman modal tidak hanya ditentukan oleh penataan regulasi, namun dipengaruhi oleh iklim yang kondusif untuk penanaman modal, termasuk keamanan, kemudahan berusaha, insentif, dan kondisi perekonomian suatu

Pemerintah memiliki peran strategis untuk mendorong penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing. Penanaman modal asing diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi Indonesia, diantaranya dapat mendorong kegiatan perekonomian, adanya transfer teknologi, menciptakan lapangan kerja, dan memberikan manfaat lainnya yang berakhir pada terciptanya kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai hal tersebut kepastian hukum telah menjadi masalah tersendiri, sebagai penghambat masuknya penanam modal asing ke dalam negeri. Ketidakjelasan pengaturan mengenai penanaman modal asing, menimbulkan tumpang tindih antara peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta menimbulkan kesulitan dalam birokrasi perizinan yang merupakan masalah yang sering ditemukan dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia. Terkait hal tersebut Pemerintah berencana menerbitkan Omnibus Law untuk mengatasi Permasalahan Kepastian Hukum Investasi. Omnibus Law bagaimanapun memberikan kepastian hukum dari perspektif pengaturan, namun belum tentu memberikan kepastian hukum dari perspektif penegakan hukum.

Oleh perlu dikaji bahwa betul jika produk omnibus law bisa menyeluruh dan mencakup semua perijinan, akan sangat membantu merubah iklim investasi di indonesia. Tapi kunci yang tak kalah pentingnya adalah aturan tersebut difahami oleh daerah dan dijalankan secara konsisten. Perlu ada channel pengaduan setelah omnibus law diterapkan yang mengencourage investor lapor/ mengadu jika di daerah tidak tidak menjalankan aturan omnibus law secara tidak konsisten.

0Shares

Pos terkait